Rabu, 22 Mei 2013

Alasan kita harus membaca Al-Qur'an

Kita di sini akan menggali pemahaman kita, “mengapa aku harus belajar al qur’an, dan mengapa aku harus mengajarkannya?”. Interaksi dengan al qur’anadalah kenikmatan. Tapi kenikmatannya tidak dapat dirasakan dengan hanya melihat dari jauh. Ia akan terasa nikmat jika kita terjun ke dalamnya. Marilah kita kembali pada al qur’anyang mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya

Kita adalah kaum minoritas

Ketahuilah bahwa kita adalah minoritas. Jangan pernah kita tertipu oleh julukan “bangsa dengan penduduk muslim terbesar”. Kita harus memahami bahwa islam tak dikotak-kotakkan menjadi bangsa atau negara. Saat kita berkeyakinan bahwa negeri ini adalah negeri muslim terbesar, berapa banyak manusia di belahan bumi ini yang tidak mengenal islam, yang masih membenci islam, bahkan yang terang-terangan memusuhi islam. Marilah kita pahami ini…

Umat manusia di dunia saat ini sekitar enam milyar. Diantara mereka, berapa yang muslim?
Diantara mereka, berapa yang lurus dan tidak menyimpang?
Diantara mereka, berapa yang mau belajar al qur’an?
Diantara mereka yang bisa membacanya, berapa banyak yang mau membacanya?
Diantara mereka yang konsisten membacanya, berapa yang mau menghafal al qur’an?
Diantara mereka yang hafal al qur’an, berapa banyak yang mau mengajarkan al qur’an?
Diantara mereka yang mengajarkannya, berapa banyak yang konsisten dalam dakwah bil qur’an?
Dan jika kita bertanya pada diri kita “Dimanakah posisi saya saat ini?”


Ketika kita dihadapkan pada peluang belajar al qur’an, sering muncul gangguan-gangguan yang akhirnya membuat kita mundur dan menunda-nunda peluang tersebut. Dan mungkin selalu ada saja alasan yang seakan masuk akal, sehingga kita tidak lagi merasa bersalah ketika mengabaikan tugas yang sangat penting ini.

Sudah terlalu tua

Di antara kita mungkin ada yang beralasan, bahwa kita sudah terlambat dalam belajar. Masa-masa keemasan kita sudah lewat. Kita sudah terlalu tua untuk dapat mengingat ayat-ayat al qur’ann dengan baik. Lidah kita sudah terlalu kaku untuk dapat melafalkan huruf dengan fashih. Padahal tahukah anda, bahwa rasulullah mulai menghafal al qur’an di usia 41 tahun? Tahukah anda bahwa rata-rata usia para sahabat ketika mulai belajar al qur’an adalah 30 tahun? Di antara mereka bahkan ada yang mantan perampok, pembunuh, pemerkosa atau pelacur, sementara mereka juga adalah kaum buta huruf? Allahlah yang telah menutup dosa-dosa mereka dengan maghfirohnya. Kemuliaan dan keberkahan akan lahir berkat perjuangan mereka sendiri. Ingatlah bahwa tidak ada kata terlambat dalam belajar.

Kesibukan yang menyita
Alasan kesibukan adalah alasan yang paling sering kita kemukakan. Kita merasa bahwa waktu kita sudah habis oleh ini dan itu. Ketika kita bermaksud untuk belajaral qur’an di sebuah halaqoh, tiba-tiba kita menemukan bahwa di waktu tersebut kita memiliki kegiatan yang jauh lebih penting. Akhirnya kita menyerah oleh keadaan. Dan kitapun lagi-lagi meninggalkan keinginan tersebut.

Benarkah kita sudah tak memiliki waktu lagi?

Hitunglah berapa jam waktu tidur kita, berapa jam waktu yang kita habiskan di perjalanan,  juga jam-jam istirahat kita dan jam-jam bersenda gurau dengan orang lain. Sudahkah semua itu sebanding dengan ibadah harian yang kita kerjakan? Sudahkah kita berlaku adil terhadap waktu kita? Tak bisakah kita menyisihkan waktu untuk al qur’an meskipun hanya sesaat? Benarkah tak bisanya kita adalah karena kehabisan waktu?

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

“Barang siapa yang disibukkan Al Qur’an hingga tidak sempat berdzikir dan meminta kepadaku, niscaya akan aku berikan sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah kuberikan pada orang-orang yang meminta..”


Yang penting pemahaman

Sering ada orang yang bertanya kepada saya ketika ia ingin bergabung dengan halaqohal qur’an di masjid al hikmah. Di antara pertanyaan tersebut adalah, “apakah belajar al qur’an di sini disertai tafsirnya atau hanya belajar membaca saja?”. Sungguh disayangkan ketika akhirnya banyak di antara mereka yang membatalkan keinginannya, hanya karena di sini tidak menyediakan program tafsir al qur’an secara resmi. Bagi orang yang menganggap bahwa memahami al qur’an lebih utama dari membacanya, atau mungkin sebaliknya, cukuplah baginya hadits-hadits rasulullah berikut ini,

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al qur’an, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan akan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.

“Sikap iri tidak diperbolehkan kecuali terhadap dua hal; seseorang yang di beri al qur’an oleh allah kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang hari..”

“Orang yang pandai membaca al qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat, sementara orang yang membaca al qur’an dengan terbata-bata serta merasa kesulitan akan mendapatkan dua pahala.”

“Bacalah al qur’an! sesungguhnya al qur’an akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi sahabat-sahabatnya”


Sesungguhnya masih banyak lagi alasan-alasan lain yang sering melintas di benak kita, yang perlu kita perbaiki adalah hati. Jika hati baik, maka baik yang lainnya. Jika hati rusak, maka rusak seluruhnya. Di antara penyebab kerusakan hati adalah apa yang diungkapkan oleh rasulullah,

Selasa, 21 Mei 2013

Syariat Islam dalam Pemberantasan Korupsi

Di Indonesia, korupsi agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.

Korupsi yang selama ini berjalan memiliki metode yang jelas, yaitu buat pendapatan sekecil mungkin dan buat pengeluaran sebesar mungkin. Bentuknya beraneka ragam, pelakunya pun bermacam-macam. Ada korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Misalnya, mereka menentukan dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya tidak perlu atau memang perlu tapi di tempat lain, menentukan kepada siapa proyek harus jatuh, menentukan jenis investasi pada perusahaan hampir bangkrut milik pejabat, dan mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta tertentu tanpa memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi juga dilakukan pada pengelolaan uang negara seperti uang yang belum/sementara tidak dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk deposito, bunganya mereka ambil, bahkan seringkali mereka mendapat premi dari bank; BUMN pengelola uang pensiunan atau asuransi menginvestasikan uang tersebut untuk kepentingan pribadi,atau bahkan di perusahaannya pribadi. Korupsi juga kerap terjadi pada pengadaan dalam bentuk membeli barang yang sebenarnya tidak perlu untuk memperoleh komisi, membeli dengan harga lebih tinggi dengan cara mengatur tender, membeli barang dengan kualitas dan harga tertentu tetapi barang yang diterima kualitasnya lebih rendah, selisih harganya masuk ke saku pejabat, atau barang dan jasa yang dibeli tidak diterima seluruhnya, sebagiannya digunakan oleh pejabat. Begitu pula korupsi terjadi pada penjualan barang dan jasa, pengeluaran, dan penerimaan. Walhasil, korupsi di Indonesia telah menggurita. Wajar selama kurun lima tahun terakhir, Indonesia menduduki tidak kurang dari peringkat kelima negara terkorup.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sebagaimana mestinya). Koruptor makin kaya, rakyat yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Pengusutan Korupsi, Suatu Kewajiban
Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya merupakan perbuatan yang haram. Nabi saw. menegaskan: “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Adanya kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, menunjukkan keharaman seluruh bentuk perampasan termasuk korupsi.
Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Dilihat dari aspek keharamannya, jelas perkara haram tersebut harus dihilangkan, baik ada yang menuntutnya ataupun tidak. Demikian pula kasus korupsi, tanpa ada tuntutan dari rakyat pun sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadilinya.
Apalagi, ditinjau dari sisi lain, korupsi ini menyangkut perampasan terhadap milik rakyat dan negara. Padahal, yang namanya pemimpin merupakan “pengembala” rakyatnya. Kata Nabi saw., “Sesungguhnya pemimpin itu (imam) adalah pengembala, dan ia pasti dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang digembalakan itu.” Bila ditafakuri karakter pengembala, maka akan tampak bahwa sang pengembala ia akan mencari makanan untuk gembalaannya, bila sakit diobati, ada nyamuk dibuatkan api unggun, dan bila tubuhnya kotor dimandikan di sungai. Artinya, hal-hal yang merupakan kebutuhannya dipenuhi dan hal-hal yang membahayakannya dicegah dan dilawan. Realitanya, harta yang dikorupsi merupakan harta rakyat dan negara. Bila dibiarkan, rakyatlah yang akan mendapatkan kerugian finansial. Yang semestinya rakyat yang menikmati, gara-gara korupsi rakyat menjadi setengah mati. Seorang pemimpin sejati, pasti tidak akan membiarkan kondisi seperti ini. Bila tidak, ia telah berkhianat terhadap akad sebelum ia menjadi pemimpin. Padahal, Allah Swt. di dalam terjemahan surat al-Maa-idah (5): 1 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman tepatilah akad-akadmu … .”
Ada suatu teladan dari Umar bin Khaththab. Di dalam kitab Thabaqat, Ibnu Sa’ad mengetengahkan kesaksian asy-Syi’bi yang mengatakan, “Setiap mengangkat pemimpin, Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang tersebut. Selaain itu, bila meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari kekayaan yang layak baginya, yaang sesuai dengan gajinya.” Tampak jelas bahwa sikap Umar bin Khaththab progresif dalam mengusut kasus korupsi. Beliau tidak menunggu terlebih dahulu tuntutan dari rakyat. Selain itu, sederhana sekali rumus yang diberikan beliau. Bila kekayaan yang ada sekarang tidak mungkin diperoleh dengan gaji yang didapatkan selama sekian lama menjabat, pasti kelebihan kekayaannya tersebut hasil korupsi. Jelaslah, diperlukan sikap tegas dan serius dari pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadili orang yang diduga melakukan korupsi karena ini merupakan kewajibannya.
Pemberantasan Korupsi Perspektif Syariat

Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan harus pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor – dulu diarak keliling kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Keenam, kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara (Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat lama lalu dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, seperti dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan semua kelebihan itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak jelas siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan, seperti disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan kepada mereka.
Ketujuh, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan Indonesia dan seluruh umat dengan syariat.[]