Syariat Islam dalam Pemberantasan Korupsi
Di Indonesia, korupsi agaknya telah menjadi persoalan yang amat
kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke
seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin
meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga
menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas
muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Korupsi yang selama ini berjalan memiliki metode yang jelas, yaitu
buat pendapatan sekecil mungkin dan buat pengeluaran sebesar mungkin.
Bentuknya beraneka ragam, pelakunya pun bermacam-macam. Ada korupsi
yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Misalnya, mereka menentukan
dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya tidak perlu atau memang perlu
tapi di tempat lain, menentukan kepada siapa proyek harus jatuh,
menentukan jenis investasi pada perusahaan hampir bangkrut milik
pejabat, dan mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta
tertentu tanpa memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi juga dilakukan
pada pengelolaan uang negara seperti uang yang belum/sementara tidak
dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk deposito, bunganya mereka
ambil, bahkan seringkali mereka mendapat premi dari bank; BUMN pengelola
uang pensiunan atau asuransi menginvestasikan uang tersebut untuk
kepentingan pribadi,atau bahkan di perusahaannya pribadi. Korupsi juga
kerap terjadi pada pengadaan dalam bentuk membeli barang yang sebenarnya
tidak perlu untuk memperoleh komisi, membeli dengan harga lebih tinggi
dengan cara mengatur tender, membeli barang dengan kualitas dan harga
tertentu tetapi barang yang diterima kualitasnya lebih rendah, selisih
harganya masuk ke saku pejabat, atau barang dan jasa yang dibeli tidak
diterima seluruhnya, sebagiannya digunakan oleh pejabat. Begitu pula
korupsi terjadi pada penjualan barang dan jasa, pengeluaran, dan
penerimaan. Walhasil, korupsi di Indonesia telah menggurita. Wajar
selama kurun lima tahun terakhir, Indonesia menduduki tidak kurang dari
peringkat kelima negara terkorup.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Di samping itu,
korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan
yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Korupsi juga
makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila
sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka
korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi
secara tidak sehat (tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi sebagaimana
mestinya). Koruptor makin kaya, rakyat yang miskin makin miskin. Akibat
lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang.
Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam
pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Pengusutan Korupsi, Suatu Kewajiban
Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan
negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah
atau tidak, korupsi memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat.
Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero
negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya merupakan
perbuatan yang haram. Nabi saw. menegaskan: “Barang siapa yang merampok
dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami
(yakni bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim).
Adanya kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, menunjukkan
keharaman seluruh bentuk perampasan termasuk korupsi.
Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal
dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa
saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi
pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap
kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu,
kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… . Siapa yang
kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak.
Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan
apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa
saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya
(kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk
surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya
sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak”
(HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Dilihat dari aspek keharamannya, jelas perkara haram tersebut harus
dihilangkan, baik ada yang menuntutnya ataupun tidak. Demikian pula
kasus korupsi, tanpa ada tuntutan dari rakyat pun sudah merupakan
kewajiban pemerintah untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadilinya.
Apalagi, ditinjau dari sisi lain, korupsi ini menyangkut perampasan
terhadap milik rakyat dan negara. Padahal, yang namanya pemimpin
merupakan “pengembala” rakyatnya. Kata Nabi saw., “Sesungguhnya
pemimpin itu (imam) adalah pengembala, dan ia pasti dimintai
pertanggungjawabannya tentang apa yang digembalakan itu.” Bila
ditafakuri karakter pengembala, maka akan tampak bahwa sang pengembala
ia akan mencari makanan untuk gembalaannya, bila sakit diobati, ada
nyamuk dibuatkan api unggun, dan bila tubuhnya kotor dimandikan di
sungai. Artinya, hal-hal yang merupakan kebutuhannya dipenuhi dan
hal-hal yang membahayakannya dicegah dan dilawan. Realitanya, harta
yang dikorupsi merupakan harta rakyat dan negara. Bila dibiarkan,
rakyatlah yang akan mendapatkan kerugian finansial. Yang semestinya
rakyat yang menikmati, gara-gara korupsi rakyat menjadi setengah mati.
Seorang pemimpin sejati, pasti tidak akan membiarkan kondisi seperti
ini. Bila tidak, ia telah berkhianat terhadap akad sebelum ia menjadi
pemimpin. Padahal, Allah Swt. di dalam terjemahan surat al-Maa-idah
(5): 1 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman tepatilah akad-akadmu …
.”
Ada suatu teladan dari Umar bin Khaththab. Di dalam kitab Thabaqat,
Ibnu Sa’ad mengetengahkan kesaksian asy-Syi’bi yang mengatakan, “Setiap
mengangkat pemimpin, Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang
tersebut. Selaain itu, bila meragukan kekayaan seorang penguasa atau
pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari kekayaan
yang layak baginya, yaang sesuai dengan gajinya.” Tampak jelas bahwa
sikap Umar bin Khaththab progresif dalam mengusut kasus korupsi. Beliau
tidak menunggu terlebih dahulu tuntutan dari rakyat. Selain itu,
sederhana sekali rumus yang diberikan beliau. Bila kekayaan yang ada
sekarang tidak mungkin diperoleh dengan gaji yang didapatkan selama
sekian lama menjabat, pasti kelebihan kekayaannya tersebut hasil
korupsi. Jelaslah, diperlukan sikap tegas dan serius dari pemerintah
untuk mengusut, menyelidiki, dan mengadili orang yang diduga melakukan
korupsi karena ini merupakan kewajibannya.
Pemberantasan Korupsi Perspektif Syariat
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan,
telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN, tapi mengapa
tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak
dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat
Islam berikut:
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus
bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila
gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang
mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah
keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda
berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain
yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat
pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa
yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan
disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak
mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai
hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang
mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang
diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud
agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap
Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap”
(HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap
yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan
berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak
sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, hukum ditegakkan secara tidak
adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau
suap.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius,
penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah
berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar,
Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi
Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena
gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya
di pasar, beliau menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya
itu gemuk karena digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di
padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu
Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab
Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil
tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis
!” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan
penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para
pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi.
Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di
bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibuat tim
khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin
Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru
setelah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa
pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian,
dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini
Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara
kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah
[2]: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan
bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata
“maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup
semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece,
keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik.
Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka
terdakwa itu harus membuktikan dari mana harta itu diperoleh dan harus
pula menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa
dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar
menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak
bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat
Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal
padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu Bakrah tidak dapat
membuktikan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak dapat
menunjukkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar
pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang
sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya
sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini
ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta
gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan
bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar
sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak
mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai
menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan
teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini.
Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan.
Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua
upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima
risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang
berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal
atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk
melakukan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah seperti
pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor,
dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad,
Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah
(kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman
tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor – dulu diarak keliling
kota, sekarang bisa lewat media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid
bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para
sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam
pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, karena
seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian
menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.”
Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah
beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al-
Muwwatha ). Atau, bisa juga sampai hukuman kurungan. Menurut
Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190),
hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan sampai 5 tahun. Namun, masih
dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang
membahayakan ekonomi negara, koruptor dapat dijatuhi hukuman mati.
Keenam, kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui
penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara (Khalifah) yang
baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat lama lalu
dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila
dapat dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar,
seperti dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan agar menyerahkan
semua kelebihan itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan
itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah
tanah–dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak
jelas siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas
negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan, seperti disebut di
dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab membagi dua
kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang separuh
diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan
kepada mereka.
Ketujuh, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan
atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan
cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak
segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut
mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya
berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi
aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila
kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun
dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat
sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang
setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, serta dengan pembuktian
terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi
dengan tuntas.
Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan
segenap problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan
korupsi. Karena itu, selamatkan Indonesia dan seluruh umat dengan
syariat.[]